Kasus Pencabulan Dompu terjadi di Kecamatan Kempo, Kabupaten Dompu, NTB. Seorang pelajar SMP berusia 13 tahun berinisial F diamankan polisi setelah keluarga balita berusia dua tahun melapor. Peristiwa diduga terjadi pada Rabu malam, ketika korban mengeluhkan rasa sakit kepada orang tuanya dan menyebut pelaku yang tinggal bertetangga.
Polisi segera mengevakuasi terduga pelaku ke Mapolsek Kempo untuk mencegah amuk massa, sebelum akhirnya dibawa ke Polres Dompu guna pemeriksaan lanjutan. Langkah cepat ini ditempuh agar situasi lingkungan tetap kondusif serta proses hukum berjalan sesuai ketentuan yang berlaku.

Kasus Pencabulan Dompu Penanganan Hukum Anak dan Perlindungan Korban
Karena terduga pelaku masih di bawah umur, aparat menegaskan penanganan akan mengikuti Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak serta aturan perlindungan anak. Artinya, prosedur pemeriksaan, pendampingan orang tua/wali, dan kehadiran petugas Balai Pemasyarakatan (Bapas) menjadi bagian yang tidak bisa dilewatkan. Di sisi lain, hak-hak korban juga menjadi prioritas, termasuk rujukan layanan kesehatan, psikolog, dan pendampingan dari pekerja sosial.
Polisi menyatakan bahan keterangan awal diperoleh dari pengakuan orang tua korban, hasil pemeriksaan dokter, serta identifikasi lokasi. Setelah berkas lengkap, proses akan dilimpahkan ke kejaksaan sesuai tahapan.
Kasus Pencabulan Dompu Upaya Mencegah Konflik Sosial di Lingkungan
Petugas melakukan pendekatan kepada kedua keluarga mengingat rumah mereka berdekatan. Tujuannya jelas: menurunkan tensi emosi warga, mencegah tindakan main hakim sendiri, dan menjaga keamanan anak-anak di sekitar. Aparat juga mengimbau masyarakat tidak menyebarkan identitas korban maupun pelaku anak, termasuk melalui media sosial, demi melindungi masa depan mereka.
Namun, polisi tetap membuka kanal pengaduan bagi saksi yang mengetahui detail tambahan, agar pembuktian berjalan transparan dan akuntabel.
Edukasi dan Pencegahan: Peran Keluarga dan Komunitas
Peristiwa seperti Kasus Pencabulan Dompu mengingatkan pentingnya komunikasi orang tua–anak. Tanda-tanda ketidaknyamanan pada anak—perubahan perilaku, takut bertemu orang tertentu, atau keluhan fisik—perlu ditanggapi serius. Sekolah dan tokoh masyarakat juga didorong memperkuat edukasi keamanan tubuh (body safety), misalnya mengenalkan zona pribadi, hak mengatakan “tidak”, dan cara meminta pertolongan.
Selain itu, warga diimbau menjaga etika berbagi informasi. Hindari konten yang mengarah pada perundungan atau pengungkapan identitas anak. Langkah ini membantu proses pemulihan korban, sekaligus memastikan proses peradilan anak berjalan manusiawi.
Apa Selanjutnya?
Aparat masih mengumpulkan keterangan lanjutan dan memetakan kebutuhan pemulihan korban. Jika alat bukti memadai, kasus akan masuk tahap diversi atau proses peradilan anak sesuai rekomendasi penyidik dan Bapas. Tujuan akhirnya adalah keadilan yang berpihak pada kepentingan terbaik bagi anak, baik korban maupun pelaku anak, tanpa mengabaikan akuntabilitas hukum.
Baca juga – Kekerasan Sopir Taksi Online: Korban Dibuang di Depok












Leave a Reply